Jejak Perjalanan Hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah bukan sekadar perpindahan geografis. Ia adalah tonggak sejarah Islam, momen krusial yang menandai transformasi dakwah dari fase tekanan dan penganiayaan menuju pembentukan masyarakat Islam yang mandiri. Perjalanan ini penuh dengan perencanaan cermat, pengorbanan besar, dan perlindungan ilahi.
Latar Belakang Hijrah: Tekanan yang Kian Meninggi
Selama lebih dari sepuluh tahun berdakwah di Makkah, Rasulullah SAW dan para sahabat mengalami tekanan yang sangat berat. Ancaman, penyiksaan, pemboikotan, hingga pembunuhan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat Islam di kota itu. Meskipun begitu, Rasulullah tetap tabah dan tidak berhenti menyeru pada tauhid.
Namun, setelah wafatnya Abu Thalib (paman yang selalu melindungi Rasul) dan Khadijah (istri tercinta dan penyokong utama), tekanan kaum Quraisy meningkat tajam. Saat situasi semakin memburuk, Allah SWT memberikan jalan keluar melalui peristiwa Bai’at Aqabah, di mana sejumlah penduduk Yatsrib (kelak bernama Madinah) beriman dan berjanji akan melindungi Nabi jika beliau hijrah ke sana.
Hijrah pun menjadi keniscayaan, bukan karena Rasulullah takut, tetapi karena Madinah menawarkan tempat yang lebih kondusif untuk membangun masyarakat Islam yang utuh.
Rencana dan Pelaksanaan Hijrah
Hijrah dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh strategi. Rasulullah tidak serta-merta pergi begitu saja. Beliau menunggu perintah dari Allah dan menyusun rencana matang bersama Abu Bakar ash-Shiddiq. Ketika kaum Quraisy merancang pembunuhan terhadap Nabi dengan mengerahkan pemuda dari berbagai kabilah, Allah mewahyukan kepada Rasulullah untuk hijrah.
Pada malam yang telah ditentukan, Ali bin Abi Thalib menggantikan posisi tidur Rasulullah di ranjang beliau, demi mengelabui musuh. Rasulullah dan Abu Bakar pun meninggalkan Makkah secara sembunyi-sembunyi, lalu bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Saat Quraisy mengepung kota dan mencari ke segala arah, termasuk sampai ke mulut gua, Allah melindungi mereka dengan cara yang tak terduga: sarang laba-laba dan burung merpati yang membuat para pengejar mengira gua itu kosong.
Setelah keadaan aman, mereka melanjutkan perjalanan menuju Madinah melalui rute yang tidak biasa, agar tidak terlacak. Mereka dibantu oleh seorang penunjuk jalan non-Muslim bernama Abdullah bin Uraiqith, serta dibekali logistik dan informasi oleh Asma’ binti Abu Bakar dan Abdullah bin Abu Bakar.
Sambutan Penduduk Madinah dan Awal Baru Islam
Setibanya di Madinah, Rasulullah disambut dengan suka cita oleh kaum Anshar—penduduk lokal yang telah mempersiapkan diri untuk menerima beliau. Mereka menyambut Rasul dengan syair penuh cinta: "Thala'al badru ‘alaina..." yang hingga kini terus dikenang dan dinyanyikan.
Peristiwa hijrah ini menjadi awal baru dalam perjalanan Islam. Di Madinah, Rasulullah membentuk masyarakat yang inklusif, mendirikan Masjid Nabawi sebagai pusat ibadah dan pembelajaran, serta mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Di sini pula ditetapkan dasar-dasar konstitusi Madinah, yang menjadi cikal bakal sistem pemerintahan Islam pertama.
Hijrah bukan sekadar pelarian dari tekanan, tapi strategi dakwah yang matang. Ia mengajarkan kita pentingnya perjuangan, kebersamaan, dan tawakkal kepada Allah. Maka tak heran, peristiwa hijrah dijadikan sebagai penanda tahun baru Islam, karena ia adalah titik balik kebangkitan umat.
Makna Hijrah dalam Kehidupan Modern
Hijrah bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga pesan yang hidup bagi setiap Muslim. Dalam kehidupan sehari-hari, hijrah bisa bermakna berpindah dari keburukan menuju kebaikan, dari keraguan menuju keyakinan, dari lalai menjadi sadar. Jejak Rasulullah SAW dalam hijrah mengajarkan kita untuk berani berubah, sabar dalam rintangan, dan percaya bahwa setiap perjalanan yang diniatkan karena Allah pasti akan berujung pada kebaikan.
Hijrah mengajarkan bahwa perubahan besar tidak akan terjadi tanpa pengorbanan. Tapi di balik setiap pengorbanan, selalu ada kemenangan yang disiapkan oleh Allah SWT.