Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat secara Islami

Islam adalah agama yang sempurna, namun umatnya hidup dalam keragaman latar belakang, pengalaman, dan pemahaman. Maka tak heran jika perbedaan pendapat muncul dalam banyak hal, mulai dari persoalan fiqih hingga pandangan sosial. Yang menjadi persoalan bukanlah adanya perbedaan itu sendiri, melainkan bagaimana seorang Muslim menyikapinya.
Dalam Islam, perbedaan bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau dihapus, tetapi disikapi dengan hikmah dan adab. Rasulullah SAW dan para sahabat telah memberikan contoh yang luar biasa dalam merespons perbedaan secara bijak dan penuh kasih sayang.
Perbedaan adalah Keniscayaan
Allah SWT menciptakan manusia dalam berbagai bentuk, bahasa, dan cara berpikir. Dalam Al-Qur’an disebutkan: "Dan kalau Tuhanmu menghendaki, tentulah umat manusia menjadi satu umat saja, tetapi mereka senantiasa berselisih..." (QS. Hud: 118). Ayat ini menjadi pengingat bahwa perbedaan adalah bagian dari sunnatullah. Maka menyikapinya dengan kemarahan atau merasa paling benar justru bertentangan dengan kehendak Allah.
Para ulama sejak dahulu pun berbeda pendapat dalam banyak hal. Namun mereka tetap menjaga rasa hormat satu sama lain. Imam Syafi’i misalnya, pernah berkata, "Pendapatku benar tapi bisa jadi salah. Pendapat orang lain salah tapi bisa jadi benar." Ini bukan relativisme, tapi wujud kerendahan hati dalam memahami keterbatasan manusia.
Adab dalam Berbeda Pendapat
Sikap paling mendasar dalam menyikapi perbedaan adalah adab. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa ketika terjadi perselisihan, hendaknya seseorang tidak mencaci, tidak merendahkan, dan tidak menyakiti hati saudaranya. Perbedaan yang disikapi dengan sopan santun akan membuka ruang dialog dan saling memahami.
Adab dalam berbeda pendapat juga mencakup kemampuan mendengar dengan penuh perhatian, tidak memotong pembicaraan, serta menghindari debat yang tak bermanfaat. Islam tidak melarang diskusi, tapi melarang perdebatan yang memicu permusuhan dan kesombongan.
Ulama salaf juga sangat menjaga lisannya dalam menyikapi perbedaan. Mereka tidak mudah memberi label sesat, apalagi mengkafirkan. Sebab, label semacam itu bisa sangat berat akibatnya di sisi Allah jika diberikan tanpa dasar yang kuat.
Fokus pada Inti Ajaran: Persatuan Umat
Perbedaan dalam hal cabang bukan alasan untuk memutus silaturahmi atau menumbuhkan kebencian. Selama akidahnya masih dalam koridor Islam, maka seharusnya perbedaan itu tidak menjadikan kita musuh. Kita bisa berbeda pandangan tentang tata cara ibadah tertentu, tapi tetap bersatu dalam kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah membiarkan dua kelompok sahabat berbeda dalam menafsirkan perintah beliau. Saat itu, perintah untuk tidak shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah dipahami secara harfiah oleh satu kelompok, sementara kelompok lain memahami bahwa maksudnya adalah segera menuju ke sana, meskipun shalat Ashar dilakukan di perjalanan. Keduanya tidak disalahkan. Ini bukti bahwa perbedaan tafsir yang ikhlas dan berlandaskan ilmu tidak menjadi dosa, bahkan bisa menjadi rahmat.
Oleh karena itu, prinsip dasar dalam menyikapi perbedaan adalah memperkuat ukhuwah, bukan memperlemah. Perbedaan semestinya menjadi kekayaan pemikiran, bukan bahan pertengkaran.
Bijak dalam Sikap, Lapang dalam Hati
Islam mengajarkan bahwa yang paling utama bukan siapa yang paling keras membela pendapatnya, tetapi siapa yang paling mampu menjaga akhlaknya dalam perbedaan. Keberkahan ilmu tidak hanya terletak pada dalil yang kuat, tapi juga pada kerendahan hati dalam menyampaikan dan mendengarkan.
Ketika kita menyikapi perbedaan dengan kelembutan, kita sedang meneladani Rasulullah. Ketika kita mengedepankan persatuan di atas ego pendapat, kita sedang menjaga Islam tetap teduh di tengah umat yang majemuk. Perbedaan bukan ancaman, tapi peluang untuk saling belajar dan memperluas wawasan. Selama kita menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama, dan menjaga adab dalam berdiskusi, maka perbedaan itu bisa menjadi jalan menuju kedewasaan spiritual.