Bagaimana Islam Memandang Waktu dan Usia?

Dalam Islam, waktu bukan sekadar perputaran siang dan malam, dan usia bukan hanya deretan angka yang terus bertambah. Keduanya adalah amanah, nikmat, sekaligus ujian. Waktu dan usia adalah bagian dari hidup yang paling sering disepelekan, padahal keduanya sangat menentukan arah kehidupan seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Islam memandang waktu sebagai sesuatu yang sangat berharga. Bahkan Allah SWT bersumpah atas nama waktu dalam beberapa surah, seperti Al-‘Ashr, Adh-Dhuha, dan Al-Fajr, menunjukkan bahwa waktu memiliki kedudukan yang agung dan menjadi saksi atas amal perbuatan manusia. Dalam Surah Al-‘Ashr, Allah berfirman: "Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1–3). Ayat ini menggambarkan bahwa kebanyakan manusia menyia-nyiakan waktunya, kecuali mereka yang memanfaatkannya untuk iman, amal, dan kebajikan. Waktu yang lewat tidak akan kembali, dan setiap detiknya akan dipertanggungjawabkan.
Usia Adalah Kesempatan, Bukan Sekadar Angka
Usia dalam pandangan Islam bukan hanya tentang berapa lama seseorang hidup, tapi tentang bagaimana hidup itu dijalani. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya...” (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa usia adalah ladang amal. Setiap tahap usia punya potensi kebaikan yang berbeda. Masa muda dengan semangatnya, masa dewasa dengan tanggung jawabnya, dan masa tua dengan kebijaksanaan dan kesempatan bertobat serta memperbanyak ibadah.
Islam tidak memandang usia tua sebagai akhir dari segalanya, tapi justru sebagai momen penting untuk memperkuat hubungan dengan Allah. Banyak sahabat Nabi yang memeluk Islam di usia tua dan tetap mendapatkan kedudukan mulia. Sebaliknya, anak muda yang mengisi hidupnya dengan ibadah juga mendapat tempat istimewa, seperti yang disebut dalam hadis tentang tujuh golongan yang dinaungi Allah, salah satunya adalah “pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah.”
Waktu yang Terbuang, Usia yang Merugi
Salah satu penyakit manusia modern adalah merasa selalu punya waktu, padahal sebenarnya kita sedang kehabisan waktu. Kesibukan dunia seringkali membuat seseorang lalai akan hakikat hidup. Mereka menunda-nunda kebaikan, menangguhkan taubat, dan merasa masih punya “nanti.”
Padahal, dalam Islam, penundaan kebaikan adalah bentuk kerugian. Nabi Muhammad SAW mengingatkan dalam banyak kesempatan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memanfaatkan waktunya untuk amal yang bermanfaat. Ketika seseorang sadar bahwa waktunya terbatas, maka ia akan hidup dengan lebih sadar, lebih ikhlas, dan lebih terarah.
Satu hal penting yang ditekankan oleh para ulama adalah bahwa waktu bukan hanya soal efisiensi, tapi juga keberkahan. Bukan berapa banyak yang kita kerjakan, tapi seberapa bernilai apa yang kita lakukan. Istiqamah membaca satu ayat Al-Qur’an setiap hari bisa jadi lebih berkah daripada membaca puluhan lembar dalam satu malam tapi tanpa pemahaman dan niat yang lurus.
Mengisi Waktu dan Usia dengan Makna
Waktu adalah karunia, usia adalah perjalanan. Keduanya akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT. Islam mengajarkan kita untuk tidak hanya menghitung umur, tapi juga mengisinya dengan makna. Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling lama hidup yang mulia, tapi siapa yang paling banyak berbuat baik selama ia hidup.
Dengan kesadaran ini, setiap hari menjadi peluang untuk mendekat kepada-Nya, setiap waktu menjadi ladang pahala, dan setiap usia memiliki tujuan yang mulia. Maka, jangan tunggu tua untuk mulai taat, dan jangan tunggu waktu luang untuk mulai berubah. Karena waktu tidak pernah menunggu siapa pun.